Berpesiar ke langit bag 1
Kisah Seorang Milyuner
Temanku seorang pria yang salih, dan kadang-kadang mungkin dia membacakan ruqyah syar’iyah pada orang sakit…, dia berkata kepadaku: “Pada suatu hari dering HP-ku berbunyi…ternyata yang sedang menelfon adalah seorang anak saudagar kaya, dia berkata: “Wahai syaikh, ayahku sakit…kami ingin engkau mengunjunginya untuk membaca ruqyah syar’iah baginya”. Lalu saya pergi kerumah mereka, rumahnya sangat megah mentereng seperti istana, dari dindingnya saja menunjukkan kalau mereka hidup penuh dengan kemewahan. Anak-anak mereka menyambutku, dari wajah mereka juga tampak bahwa mereka hidup mewah. Saya bertanya tentang sakit bapaknya. Salah seorang dari mereka berkata:”Bapakku terkena serangan jantung”. Saya bertawakal pada Allah, “Bawa aku masuk menemuai bapak kalian” kataku, setelah saya masuk, saya melihat kamarnya sangat mewah sekali, di dalamnya terdapat seseorang yang umurnya 50-an sedikit tengah berbaring di atas ranjang. Nampak bekas hidup nikmat pada dirinya, dia sakit tetapi badannya masih nampak kokoh. Saya salami dia dengan pelan, lalu saya duduk di dekat kepalanya, sedangkan anak-anaknya duduk di sekelilingnya. Lalu saya menoleh pada mereka untuk meminta mereka agar keluar. Lantas merekapun keluar serta menutup pintu kamar, tinggal aku bersama sang bapak saja. Dia menundukkan kepala dan diam sebentar, lalu tiba-tiba ia menangis tersedu-sedu, air matanya mengalir tanpa bisa dibendung.
Dia berkata:”Aduhh, syaikh”, “Anda kenapa?” kataku. Dia berkata: “Inilah harta benda yang selama ini saya kumpulkan selama 30 tahun, sehingga saya tidak sempat sholat, baca quran dan majlis dzikir; saat ada orang yang menasihatiku dan dia bilang:(Pak, perhatikan akhirat bapak, sholat jammaah, puasa sunah, didik anak-anakmu, khatamkan baca Al-Quran)”. Saya berkata kepadanya:”Saya akan mengumpulkan harta sampai umur 60 tahun, saat saya sudah berumur 60 tahun, baru saya akan pensiun, saya akan menyerahkan semua kegiatanku pada orang lain, saat itulah saya baru akan mempergunakan sisa umurku untuk menginfakkan harta yang telah saya kumpulkan, dan juga ibadah”. “Syaikh, seperti yang sekarang engkau lihat, saya terserang penyakit semakin hari semakin parah”, tangisnya semakin menjadi-jadi. Saya bilang:”Engkau berbahagia pak, optimislah, InsyAllah engkau akan sembuh, sehingga bisa beribadah sebagaimana yang engkau inginkan, walaupun engkau ditaqdirkan mati oleh Allah, kita semua juga akan mati, sedangkan hartamu akan memberi manfaat padamu selepas engkau meninggal; anak-anakmu juga tidak akan melupakanmu, mereka semua akan membangun masjid, menyantuni anak yatim, serta bersedekah dan berdoa untukmu”, dia berteriak :”Sudah, cukup! Jangan teruskan” katanya.
Dia mulai menangis lagi seperti anak kecil, mengulang-ulang apa yang telah saya katakan:”Anak-anakmu akan bersedekah untukmu, mereka juga akan membangun masjid?!! Anda tidak mengetahui mereka, mereka anak-anak durhaka”.
Saya bertanya:”Kenapa?”.
Dia menjawab:”Anak-anakku itu cuma pura-pura mencinta serta sayang kepadaku, tahukah engkau wahai syaikh? Tadi malam mereka berkumpul disini, lama sekali mereka ngobrol, padahal saya ingin sekali agar mereka cepat keluar saja; saya pura-pura tidur sambil memejamkan mata serta mendengkur. Mereka menyangka kalau saya benar-benar tidur. Belum lewat beberapa menit, mereka mulai membahas hartaku, berapa mereka akan mendapatkan warisan!! Mereka semua tidak tahu menahu pembagian ilmu waris, akhirnya mereka cekcok, saling bantah sengit sekali, sampai mereka berdebat juga tentang vilaku di sebuah tempat yang strategis, mereka semua menginginkan vila tersebut”. Laki-laki tersebut terus menangis, selang beberapa waktu akhirnya dia meninggal dunia.
Akhirnya saya keluar, sambil mengulang-ulang sebuah ayat:”Ma aghna anni maliyahhalaka anni sulthoniah”[i] ayat tersebut memang benar. Orang yang paling dicintainya setelah ia meninggal akan berkumpul di rumahnya untuk membagi-bagi hartanya, tidak membagi-bagi amalnya. Ia mati, cuma tiga hal yang mengikutinya: keluarganya, hartanya, serta amalnya. Keluarga dan hartanya kembali untuk dinikmati orang lain, padahal dialah yang mengumpulkannya, cuma amalnya saja yang menyertainya. Amal apa yang akan menyertainya? Serta dibawanya masuk kuburan? ibadah malam! Sedekah! Membangun masjid! Ataukah yang meremehkan urusan agama dan cuma menonton channel-channel tv, bergaul dengan orang amoral. Allah tidak akan menzalimi seorangpun.
من اهتدى فإنما يهتدي لنفسه ومن ضل فإنما يضل يضل عليها, ولا تزرو وازرة وزر أخرى , وما كنا معذبين حتى نبعث رسولا
“Barang siapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barang siapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan kami tidak akan mengadzab sebelum kami mengutus seorang utusan”. QS: Al-Isro’ 15.
[i] . Al-Haaqqoh 28. (Hartaku sekali-kali tidak memberi manfaat kepadaku)
Filed under: Tarjamah | Leave a comment »